Cacat Moral Kandidat Pilkada

Oleh Ahmad Nyarwi, jawapos, 26 april 2010.

Arena pilkada 2010 kian dibanciri para artis. Julia Perez, Maria Eva, Vena Melinda, Ayu Azhari, dan sejumlah artis lain, termasuk Evie Tamala, dikabarkan akan meramaikan sejumlah pilkada di Indonesia. Salah seorang artis yang cukup kontroversial dalam arena pilkada jawa Timur adalah Julia Perez.

Salah satu sebab masuknya artis ke arena pilkada adalah rasa percaya diri akan popularitas yang dimiliki. Popularitas dinilai menjadi modal kuat untuk bersaing dengan kandidat yang merupakan politisi lokal. Angelina Sondakh, mantan putri Indonesia yang juga anggota DPR dari partai demokrat, pernah mengingatkan para artis agar tak begitu saja menerima tawaran maju dalam pilkada jika belum memiliki cukup pengetahuan tentang pemerintahan.

UU No.32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dalam pasal 58 dan 59 dengan jelas memperbolehkan siapapun, termasuk para artis yang memiliki syarat personal dan dukungan politik tertentu untuk maju menjadi calon kepala daerah. Kendati dalam UU tersebut sudah ditetapkan sejumlah syarat, masih ada beberapa kelemahan.

Kandidat Destruktif
Sumber persoalan sebenarnya tidak hanya terkait dengan kontroversi para artis yang dinilai kurang layak maju dalam pilkada. Yang lebih mengkhawatirkan justru potensi kandidat destruktif yang akan maju dalam pilkada.

Siapapun pasti mafhum, tidak semua kandidat berkontribusi bagi pengembangan demokrasi lokal di Indonesia. Bahkan dalam sejumlah kasus, kebanyakan kandidat yang terpilih sebagai kepala daerah dalam pilkada secara tertutup maupun terbuka menjadi mesin politik destruktif bagi daerah masing-masing.

Para kandidat destruktif tampak melalui sejumlah kasus. Pertama, mereka yang secara jelas, menurut putusan pengadilan, terkait dengan kasus-kasus korupsi di daerah, baik yang berhubungan dengan dana APBN maupun APBD. Kedua, mereka yang secara tertutup maupun terbuka terkait dengan suap menyuap atau ‘kong-kalikong’ dengan para pemilik modal. Caranya, mereka menggelontorkan sejumlah kebijakan yang menguntungkan para pemilik modal tertentu. Ketiga, mereka yang secara terbuka dan tertutup memiliki vested interest dan moral hazard luar biasa terhadap potensi sumber daya alam dan lingkungan di daerah masing-masing. Karena itu, secara serakah mereka terus mengeruk sumber-sumber kekayaan alam dan lingkungan di daerah masing-masing tanpa mempedulikan aspek AMDAL dan ketahanan lingkungan bagi generasi mendatang. Keempat, mereka yang ketika memerintah terus memorak-porandakan sumber daya birokrasi dan kalangan professional potensial di daerah demii keuntungan politik personal, dinasti/keluarga maupun kepentingan bisnis masing-masing.

Dalam jangka panjang, empat jenis kandidat tersebut kian membahayakan proses demokrasi lokal di Indonesia. Maka, tidak heran, selama beberapa tahun dijalankan di negeri ini, demokrasi lokal belum menunjukkan penampilan yang membanggakan. Bahkan, demokrasi lokal masih menyisakan sejumlah persoalan. Yakni, problem komunikasi antara gubernur dengan bupati/walikota, masih tingginya ketergantungan anggaran terhadap pusat, ketidakmandirian pembangunan karena selalu menunggu infus dari pusat.

Cacat Moral
Seiring dengan rencana revisi UU No.32 tahun 2004, Mendagri Gamawan Fauzi, terus menggulirkan sejumlah isu yang cukup kontroversial. Misalnya, seputar syarat kandidat yang tidak cacat moral/tidak pernah berzina dan berpengalaman dalam pemerintahan. Pendapat Mendagri itu mendapatkan kritik tajam dari sejumlah kalangan. Cacat moral sebenarnya wilayah yang sangat kompleks. Tidak cukup ditafsirkan sebagai mereka yang dianggap atau diduga pernah bertindak asusila atau zina. Hal yang mestinya dikedepankan adalah kredibilitas moral para kandidat terkait dengan kepentingan publik.

Isu paling konkrit, misalnya, terkait dengan tindakan yang secara langsung dan tidak langsung mendukung perilaku korupsi di daerah. Hal tersebut mestinya lebih dikedepankan dalam materi yang diajukan untuk revisi. Harus diakui, dari berbagai daerah yang telah menggelar pilkada hanya sedikit sekali kepala daerah yang mampu menghasilkan output dan outcome kepemimpinan yang cenderung unggul. Pembangunan daerah memang suatu hal yang kompleks. Tapi kualitas kandidat merupakan faktor penting yang tidak dapat diabaikan. Karena itu, UU No.32 Tahun 2004 memang urgen untuk segera direvisi. Sistem demokrasi lokal, menurut saya sudah cukup memadai. Namun, persoalan terberat terletak pada aktor politik, yaitu kandidat yang bersaing dalam pilkada. Kedepan, dalam rangka revisi Uu itu, seharusnya ada tiga hal yang di kedepankan. Yaitu, kualitas, integritas, dan kredibilitas kandidat. Dalam sistem demokrasi, idealnya memang tidak diperlakukan syarat yang ketat bagi kandidat untuk maju dalam pilkada. Toh, semuanya tergantung penilaian pemilih.

Kendati demikian, mengingat kualitas pemilih kita masih memperhatinkan dan pelaksanaan pilkada sering dipenuhi kecurangan, memang dibutuhkan regulasi untuk menyaring kandidat terbaik di daerah masing-masing.

Sistem demokrasi elektoral telah memungkinkan siapapun yang memiliki kekuatan uang dan politik serta popularitas dengan mudah “membeli” suara rakyat. Itulah yang sebenarnya telah menghancurkan tujuan pilkada sebagai wujud pendalaman demokrasi di Indonesia.